Nama sebenarnya adalah ‘Amir bin ‘Abdullah bin al-Jarrah al-Fihri al-Quraisy al-Makki, ibunya bernama Umaimah binti Ghanim.
Beliau salah seorang sahabat yang dijamin masuk Syurga, memiliki wajah yang berseri, tampan orangnya tinggi lampai, tidak gempal dan berjambang nipis. Beliau mudah mesra, tawaddhu’ dan pemalu. Namun, di saat yang genting beliau bagaikan singa yang mencari mangsa.
Kualiti iman dalam dirinya dapat kita ketahui melalui sabdaan Baginda Nabi sallallahualaihi wasallam;
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ، وَأَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
(Riwayat al-Tirmizi)
Abdullah bin ‘Umar pernah menjelaskan perwatakan Abu Ubaidah ini;
ثَلاثَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَصْبَحُ النَّاسِ وُجُوهًا، وَأَحْسَنُهَا أَخْلاقًا، وَأَثْبَتُهَا حَيَاءً، وَإِنْ حَدَّثُوكَ لَمْ يَكْذِبُوكَ، وَإِنْ حَدَّثْتَهُمْ لَمْ يُكَذِّبُوكَ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Tiga lelaki Quraish yang paling berseri wajahnya, paling baik akhlaknya dan paling teguh sifat malunya; Jika mereka berkata kepadamu, mereka tidak berdusta. Jika kamu berkata kepada mereka, mereka tidak akan mendustakannya. Mereka adalah Abu Bakr, Uthman bin ‘Affan dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (Hilyat al-Auliya’)
Manakala diriwayatkan yang dinyatakan oleh Saidatuna Aishah radhiallahu anha, beliau berkata;
أَيُّ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ أَحَبَّ إِلَيْهِ؟ قَالَتْ: أَبُو بَكْرٍ ، ثُمَّ عُمَرَ ، ثُمَّ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“(Aisyah pernah ditanya tentang siapakah sahabat Nabi yang paling disukai Rasulullah) Siapa yang Rasulullah sallallahualaihi wasallam cintai (dari golongan laki-laki)?”
Aisyah menjawab Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (Siyar ‘Alam al-Nubala’)
Amir bin Abdullah bin Jarrah Al Quraisyi Al Fihri Al Makki adalah salah seorang dari kelompok As-Sabiqun Al Awwalun (orang-orang pertama masuk Islam) dan orang yang mendukung kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini ia tunjukkan pada hari Tsaqifah, disebabkan dedikasinya yang tinggi kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Jadikan HP mu sebagai mesin ATM pribadi, caranya cukup menginstall aplikasi PAYTREN dari google Playstore atau App Store. Klik disini atau via BBM, invite 5B3EF69A, Chat di WA 08562568871 untuk info dan pendaftaran
Nasab Abu Ubaidah bin Al Jarrah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada garis keturunan Fihri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan pengakuan bahwa ia salah seorang penghuni surga dan menjulukinya Aminul Ummat (kepercayaan umat).
Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara).
Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,
إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ
“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“
Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”
Diriwayatkan dari Yazid bin Ruman, ia berkata, “Ibnu Madz’un, Ubaidah bin Al Harits, Abdurrahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad, dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah, pernah berangkat dalam misi menemui Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika bertemu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan mereka agar masuk Islam sekaligus menjelaskan tentang syariat kepada mereka. Seketika itu pula, secara bersamaan mereka masuk Islam. Peristiwa itu terjadi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam.
DIa berhijrah ke Habsyah dalam Hijrah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. dan pada saat itu dia berhasil membunuh ayahnya sendiri (yang masih kafir).
Abu Ubaidah juga pernah mendapat cobaan (musibah) yang berat pada waktu perang Uhud. Pada saat itu, Abu Ubaidah menahan dua arah serangan musuh yang ditujukan kepada Rasulullah, sehingga ia terkena pukulan yang mengakibatkan dua giginya rompal. Namun hal itu justru membuat mulutnya nampak semakin indah, sehingga muncul rumor bahwa tidak ada yang lebih indah jika kehilangan gigi melebihi indahnya gigi Abu Ubaidah.
Zubair bin Bakkar berkata, “Keturunan Abu Ubaidah dan seluruh putra saudara perempuannya telah habis dan ia termasuk orang yang hijrah ke Habsyah.”
Aku berkata, “Jika beliau hijrah ke Habsyah, berarti ia tidak lama bermukim di sana.”
Abu Ubaidah mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ خَضَبُوْا وَجْهَ نَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوْهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,
اُخْرُجْ مَعَهُمْ، فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“
Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?”
Mereka bertanya, “Siapa?”
Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya.
Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya.
Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya.
Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum,
“Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?”
Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab,
“Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”
Kisah wafatnya Abu Ubaidah
————————–————-
Ketika wabak taun merebak di negari Syam sehingga menyebabkan ramai nyawa yang terkorban akibat penyakit itu, Khalifah Umar bin al-Khattab mengirim surat dengan tujuan memanggil kembali Abu Ubaidah, sahabat kepercayaannya. Namun, Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan isi surat yang dikirimkannya kepada khalifah berbunyi;
عرفت قصدك، وإنما أنا في جند من المسلمين يصيبني ما أصابهم، فحللني من عزمتك يا أمير المؤمنين
“Saya tahu tujuan Amir al-Mukminin (agar saya terus hidup sedangkan tiada siapa yang boleh kekal hidup). Sesungguhnya saya merupakan sebahagian anggota tentera Islam oleh itu apa yang menimpa itulah jua yang akan menimpaku. Justeru gugurkanlah tuntutanmu terhadapku (agar kembali ke Madinah) wahai Amir al-Mukminin .”
Tatkala Umar bin al-Khattab membaca surat tersebut, air mata beliau terus mengalir.
Setelah beberapa hari Abu Ubaidah diserang penyakit taun. Sedang beliau nazak bertarung dengan penyakit tersebut, beliau berpesan kepada tentera-tenteranya.
أقيموا الصلاة، وصوموا رمضان، وتصَدَّقوا، وحُجُّوا، واعْتَمِروا، وتواصوا، وانْصحوا لأُمرائِكم ولا تغُشُّوهم، ولا تُلْهِكم الدنيا، فإنَّ المرء لو عُمِّر ألف حَوْلٍ ما كان له بُدٌّ من أن يصير إلى مصْرعي هذا الذي تَرَوْن
“Dirikan solat, berpuasalah di bulan Ramadan, bersedekahlah, tunaikan haji dan umrah, salinglah berpesan-pesan dan memberi nasihat kepada pemimpin kamu dan jangan kamu memperdayakan mereka. Jangan kamu dilalaikan dunia. Lantaran jika seseorang itu mampu hidup 1000 tahun sekalipun, dia tetap akan menemui pengakhiran kehidupannya seperti yang kamu sedang lihat saya sekarang ini.”
Kemudian Abu Ubaidah berpaling kepada Mu’az bin Jabal dan mengarahkannya menjadi imam solat dan sejurus selepas itu beliau pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Apabila Abu Ubaidah meninggal dunia, Mu’az bangun di hadapan rakyat dan berucap;
يا أيها الناس، إنكم قد فُجِعْتُم بِرَجُلٍ، واللهِ ما أعلم أني رأيتُ رجُلاً أبرَّ صدْراً ولا أبعد غائِلَةً، ولا أشدَّ حُباً للعاقِبَة، ولا أنصح للعامَّة منهم فَتَرَحَّموا عليه يرْحَمْكم الله
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah ditimpa kesedihan disebabkan lelaki ini. Demi Allah! Saya tidak pernah mengenali lelaki yang lebih berhati mulia dan jauh daripada hasad dengki, terlalu cinta dengan mati dan paling menunaikan tanggungjawab dan paling banyak menasihati rakyatnya berbanding lelaki ini. Doakanlah kerahmatan untuknya, pasti Allah akan merahmati kamu semua.”
Abu Ubaidah al-Jarrah meninggal dunia pada tahun 18 Hijriah di Jordan dalam wilayah Syam.
Jenazahnya dikebumikan di kawasan yang pernah dibebaskannya daripada kekuasaan Rom dan Parsi. Ketika itu beliau berumur 58 tahun.
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia.
Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata.
Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih.
Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih.
Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
“Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Abu Ubaidah adalah pemimpin pasukan Islam dalam perang Yarmuk, perang yang menelan banyak korban dari pihak musuh dan berhasil memperoleh kemenangan.
Sumber:
https://kisahmuslim.com/1112-abu-ubaidah-al-jarrah-orang-kepercayaan-umat-ini.html
http://www.kisahislam.net/2011/12/24/abu-ubaidah-bin-al-jarrah/
http://www.tarbawi.my/2013/04/abu-ubaidah-bin-al-jarrah-pemegang.html